PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Dalam sejarah perkembangan agama-agama besar sering dijumpai suatu kondisi dimana agama besar yang sudah keluar dari tempat asalnya dan bersinggungan dengan agama atau kebudayaan, tradsi, di suatu tempat, akan melahirkan suatu pemahaman atau bahkan varian baru agama tersebut.
DEWAPEMBUKA PULAU TAIWAN. ( KAI TAI SHENG WANG) 開台聖王 Kai Tai Sheng Wang yang berarti "Raja Suci Pembuka Taiwan" adalah sebutan kehormatan untuk seorang pahlawan dan patriot besar pada jaman akhir Dinasti Ming, Zheng Cheng Gong (The Sing Kong - Ho kkian). Se-cara umum penduduk setempat menyebutnya sebagai San Lao Ye atau Kai Shan Wang yang berarti Raja Pembuka Gunung.
Unduhilustrasi vektor Proses Kreatif Dilambangkan Dengan Mesin Ide Menggunakan Konsep Brainstorming ini sekarang. Dan cari lebih banyak seni vektor bebas royalti yang menampilkan Penemu - Ilmuwan grafik yang tersedia untuk diunduh dengan cepat dan mudah di perpustakaan iStock.
Jikajumlah permintaan produk barang dan jasa bertambah, maka akan memengaruhi terhadap kurva permintaan, yaitu bergeser ke kanan 37. Kepada produsen , pemerintah memberikan subsidi sebesar tr= rp 1, 5/unit barang, carilah total subsidi yg dinikmati produsen. Kurva Penawaran Dilambangkan Dengan Notasi Kurva penawaran dilambangkan dengan notasi.
KemudianYerusalem baru turun dari sorga dan Allah ada di tengah-tengah manusia dan diam bersama-sama dengan manusia. Wahyu 21:1-3 mempersaksikan bahwa akan ada langit dan bumi yang baru, dimana akan ada sebuah kebersamaan antara Allah dengan manusia dan kejahatan yang dilambangkan dengan laut tidak berkuasa lagi. Segala duka, maut dan air mata
Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. Ganesa merupakan dewa yang amat populer di kalangan umat Hindu. Pemeluknya meyakini Ganesa sebagai sosok yang mampu memberikan keselamatan dan perlindungan dari berbagai malapetaka. Tidak hanya itu, ia juga dipercayai sebagai sumber kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Kepopuleran Ganesa tak hanya ditemui di India, melainkan juga di Jawa pada pada abad ke-8 hingga 15. Beberapa arca Ganesa yang terbuat dari batu memperlihatkan penggambaran motif pada kain yang dikenakannya. Hasil pengamatan terhadap ragam motif tersebut menunjukkan adanya pola yang cukup - uploaded by Atina WinayaAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Atina WinayaContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free x 25 cm Punggung cmBambang Sulistyanto Rr. Triwurjani Sukawati Susetyo Ashar Murdihastomo Atina Winaya Libra Hari Inagurasi Yusmaini Eriawati Retno Handini Harry Octavianus SoanMenggamit Minat RAGAM HIAS NUSANTARAEditor Prof. Ris. Dr. Bambang Sulistyanto, karya seni, ragam hias ditemukan di berbagai belahan dunia. Sedemikian jauh peradaban ini terbang mengarungi samudra, menembus batas dunia, namun ia tetap bukan produk modernisme yang gegap gempita. Secara historis, ragam hias atau ornamen justru lahir dari pedalaman, tradisional, religius-magis. Perhatikan saja masyarakat berburu dan pengumpul makanan. Ragam hias memiliki makna bukan hanya sekedar gambar cadas penghias dinding gua-gua atau ceruk-ceruk hunian manusia di zaman prasejarah, melainkan lebih memiliki makna keberhasilan tangkapan hewan buruan. Lalu dari sini ragam hias disejajarkan dengan simbol perilaku nonverbal dan kebersamaan yang berfungsi semacam pelabelan Menggamit Minat Ragam Hias Nusantara yang kita baca sekarang ini, tidak lain merupakan simbol yang penting diperlakukan sebagai tanda nonbahasa. Berkomunikasi memang tidak harus meng-gunakan bahasa lisan, namun dengan simbol kita dapat beriteraksi terhadap sesama. Mengapa demikian? Karena simbol merupakan tanda yang dipergunakan untuk saling mengenali dengan arti yang sudah dipahmi bersama. Bahkan di dalam arkeologi, simbol sering dilihat sebagai suatu realitas sosial yang dibangun atas kesepakatan masyarakat pendukungnya. Dalam ilmu hermenitik, ragam hias adalah tanda yang memiliki hubungan antara penanda dan petanda yang bersifat arbiter. Sebagai penanda ia merupakan aspek material, sedangkan sebagai petanda adalah aspek mentalnya, yaitu gambaran pikiran atau konsep dari identitas simbol sendiri. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa, sebaliknya suatu petanda tidak mungkin bisa dipahami maknanya jika terlepas dari unsur penanda. Jadi, simbol memungkinkan manusia tidak hanya untuk sekedar berpikir, melainkan juga melakukan kontak terhadap realitas kehidupan di luar dirinya. Simbol sangat penting bagi kehidupan manusia, dengan simbol manusia dapat mencapai potensi estetika. Demikian kira-kira yang tersirat dalam buku bunga rampai ini. Mereka para arkeolog memperbicangkan ragam hias, tetapi sebenarnya membongkar makna simbol di Pendidikan dan KebudayaanBadan Penelitian dan Pengembangan dan PerbukuanPusat Penelitian Arkeologi NasionalEditor Prof. Ris. Dr. Bambang Sulistyanto, MENGGAMIT MINAT RAGAM HIAS NUSANTARA Menggamit Minat Ragam Hias NusantaraPenulisBambang Sulistyanto, Rr. Triwurjani, Sukawati Susetyo, Ashar Murdihastomo, Atina Winaya, Libra Hari Inagurasi, Yusmaini Eriawati, Retno Handini, dan Harry Octavianus SofianEditorProf. Ris. Dr. Bambang Sulistyanto, Penelitian Arkeologi NasionalBekerja Sama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia Jakarta, 2020 JudulMenggamit Minat Ragam Hias Nusantara,Bambang Sulistyanto, Rr. Triwurjani, Sukawati Susetyo, Ashar Murdihastomo, Atina Winaya, Libra Hari Inagurasi, Yusmaini Eriawati, Retno Handini, dan Harry Octavianus SofianEditorProf. Ris. Dr. Bambang Sulistyanto, 2020Hak Cipta dilindungi Undang-UndangAll Rights reservedISBN 978-979-8041-78-5Diterbitkan pertama kali oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakartabekerja sama dengan Yayasan Pustaka Obor IndonesiaCetakan pertama September 2020Desain sampul Masugeng 77BAB 4PENGGAMBARAN MOTIF KAIN PADA ARCA GAṆEŚA DI JAWARAGAM DAN MAKNAAtina Winaya1PendahuluanGaṇeśa merupakan tokoh yang populer di dalam mitologi agama Hindu. Rupa sik yang mudah dikenali, menjadikannya gur yang memiliki daya tarik tersendiri. Berbeda dengan sosok dewa pada umumnya, Gaṇeśa digambarkan dalam wujud perpaduan manusia dan hewan, yakni memiliki tubuh manusia dan kepala gajah. Ia merupakan putra Siwa dengan Parwati, dan memiliki saudara kandung bernama Skanda Morley, 2005118. Gaṇeśa memiliki berbagai panggilan nama, di antaranya adalah Winayaka, Wigneswara dan Wighnarāja Getty 1971. Beberapa panggilan tersebut memiliki arti yang hampir sama, yaitu “penguasa rintangan”. Panggilan lainnya yang dikenal adalah Ganapati dan Ekadanta. Ganapati berarti pemimpin para Gaṇa pasukan pengiring Siwa, sedangkan Ekadanta berarti bertaring satu secara losos, hal ini diartikan sebagai zat tunggal yang maha kuat Maulana, 199734. Sebelum memasuki topik pembahasan, ada baiknya terlebih dahulu diulas secara sepintas mitologi Gaṇeśa agar dapat diketahui konsep yang menaunginya. Asal mula lahirnya Gaṇeśa tertuang di dalam berbagai sumber tertulis keagamaan purāna. Dalam Linga Purāna, diceritakan bahwa Indra beserta para 1 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 78dewa penghuni khayangan memohon kepada Siwa untuk menciptakan suatu makhluk yang dapat mengalahkan Asura yang telah menghancurkan kediaman para dewa Rao, 196835. Melalui rahim Parwati, lahirlah pemuda tampan bernama Wighneswara, yang kemudian berhasil mengusir Asura dari khayangan. Parwati sangat bangga akan ketampanan putranya, namun ia merasa heran karena terdapat seorang dewa bernama Sani yang tidak mau memandangnya. Rupanya Sani sedang berada dalam kutukan istrinya. Apa pun yang ditatapnya akan berubah menjadi abu. Parwati meyakinkan Sani bahwa kutukan itu tidak akan berlaku pada putranya. Akan tetapi perkiraan itu salah, kepala Wighneswara berubah menjadi abu setelah ditatap oleh Sani. Parwati amat sedih. Brahma pun menghiburnya dan menjanjikan bahwa kepala binatang yang pertama kali ditemui akan menyelamatkan putranya. Ketika itu, Wisnu yang sedang mengendarai Garuda menemukan seekor gajah. Kepala gajah itu dipenggal dan dipasangkan ke leher Wighneswara. Setelah itu, ia dinamakan Gaṇeśa Ions, 1967100. Kisah lainnya yang cukup populer mengenai kelahiran Gaṇeśa tertuang di dalam Siwa Purāna. Kitab tersebut menceritakan bahwa Parwati menciptakan Gaṇeśa sebagai penjaga pintu kediamannya Vanita dan Kidwai, 200082. Suatu ketika, Siwa hendak memasuki kediaman pada saat Parwati sedang mandi. Gaṇeśa yang bertugas menjaga kediaman ibunya, dengan sigap menghalanginya. Tindakan Gaṇeśa menyebabkan Siwa murka sehingga menimbulkan peperangan di antara keduanya. Siwa memenggal kepala Gaṇeśa dan kemudian menggantikannya dengan kepala gajah Agarwal, 2018. Var āha Purāna menceritakan asal-usul Gaṇeśa dengan versi yang berbeda Rao, 196839. Parwati merasa iri akan keindahan sosok Gaṇeśa. Ia pun mengutuk Gaṇeśa menjadi seorang pemuda berkepala gajah dan berperut buncit, sehingga semua keindahan yang dimilikinya hilang. Siwa yang mengetahui kutukan itu, segera bertitah bahwa Gaṇeśa akan menjadi Wignarāja yang memimpin para Gana. Ia harus diagungkan di antara para dewa, dan segala keberhasilan dan kegagalan menjadi ketetapannya Ions, 1967101. Sungguh menarik bahwa asal-usul Gaṇeśa dikisahkan secara berbeda di dalam berbagai purāna. Meskipun demikian, hampir seluruhnya memiliki asosiasi mengenai penggambaran dirinya sebagai seorang “penjaga” atau seorang yang dapat mengusir halang rintangan. Beberapa kitab lainnya yang menceritakan Atina Winaya 79kelahiran Gaṇeśa adalah Brahmawaiwarta Purāna, Suprabhedagāma Purāna, Matsya Purāna, Skanda Purāna, dan Ganesa Purāna Rao, 1968; Getty, 1971; O’Flaherty, 1980.Tidak hanya di India, pemujaan terhadap Gaṇeśa juga dilakukan oleh masyarakat Jawa kuno. Hal itu dapat diketahui dari berbagai bukti arkeologis yang ditemukan, baik berupa sumber tertulis maupun artefak. Gaṇeśa kerap ditemui di dalam inskripsi Jawa Kuno. Secara umum, penyebutannya di dalam prasasti tercantum pada dua bagian, yaitu pada seruan di awal/akhir parasasti dan pada sumpah sapatha yang menyeru para dewa untuk menjadi saksi. Meskipun demikian, penyebutan namanya di dalam prasasti tidak pernah dituliskan menggunakan nama Gaṇeśa. Pada bagian seruan, nama yang sering dijumpai adalah Ganapati. Adapun pada bagian sumpah, nama yang dijumpai adalah Winayaka. Kedua nama itu memiliki latar yang berbeda. Ganapati digunakan untuk menyebut Siwa dan tokoh dewata lainnya di dalam sumber India yang lebih tua, sedangkan Winayaka kemungkinan digunakan sebagai sebutan untuk roh jahat yang menghalangi upaya manusia Sedyawati, 1994135. Selain penyebutan namanya di dalam berbagai sumber tertulis, indikasi mengenai pemujaan Gaṇeśa pada masa Jawa kuno yang tidak dapat disangkal adalah banyaknya arca Gaṇeśa yang ditemui hingga saat ini. Bersama Trimurti Siwa, Wisnu, dan Brahma, Gaṇeśa menjadi tokoh dewata yang paling banyak diwujudkan dalam bentuk arca. Arca Gaṇeśa umumnya diletakkan di tempat yang dianggap keramat, seperti perempatan jalan, tempat penyeberangan sungai atau jembatan, dan di bawah pohon besar Bagus, 201526. Tidak hanya berdiri sendiri, arca Gaṇeśa merupakan salah satu gur penting di dalam kelompok arca yang menghiasi candi-candi Siwa di Jawa. Komposisi penempatan arca pada candi Siwa adalah arca Siwa di dalam bilik utama candi, arca Durga di relung sisi utara, arca Agastra di relung sisi selatan, dan arca Gaṇeśa di relung sisi barat/timur Kempers, 195959.Beberapa arca Gaṇeśa ditemui memiliki hiasan inskripsi. Gaṇeśa yang memuat inskripsi di bagian belakang tubuhnya, kiranya tidak mungkin diletakkan menempel pada dinding, karena tulisan yang tercantum di punggungnya mempunyai fungsi sebagai maklumat sehingga perlu dilihat oleh khalayak umum. Besar kemungkinan arca Gaṇeśa tersebut diletakkan di tengah ruangan Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 80atau lapangan. Dengan demikian, semakin memperkuat dugaan bahwa pada masa pembuatan arca-arca itu, dikenal pemujaan Gaṇeśa secara tersendiri Sedyawati,1994161. Daya tarik Gaṇeśa mampu memikat para ahli untuk meneliti dan mengulas sosoknya lebih dalam. Sudah banyak karya tulis ilmiah, baik dalam bentuk artikel jurnal, skripsi, tesis, maupun disertasi yang membahas Gaṇeśa melalui berbagai sudut pandang. Salah satu kajian mendalam mengenai Gaṇeśa dilakukan oleh Edi Sedyawati pada tahun 1985 dalam disertasinya yang berjudul “Pengarcaan Gaṇeśa Masa Kadiri dan Singhasari Sebuah Tinjuan Sejarah Kesenian”. Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini bermaksud turut serta memperkaya ulasan mengenai Gaṇeśa melalui sudut pandang yang belum pernah dibahas sebelumnya, yakni berkenaan dengan motif kain yang dikenakannya. Sebagian besar arca yang berasal dari masa Jawa kuno tidak memperlihatkan secara jelas penggambaran motif yang menghiasi kain yang dikenakannya. Besar kemungkinan bahwa dahulu kain yang dikenakan arca dihiasi oleh motif ragam hias tertentu, namun seiring berjalannya waktu, motif tersebut menjadi aus bahkan hilang akibat kondisi lingkungan yang dilaluinya selama berabad-abad. Hal tersebut diketahui dari sebagian kecil arca yang masih memperlihatkan motif hias pada kain yang dikenakannya, baik pada arca yang terbuat dari logam maupun batu. Beberapa arca tersebut adalah arca Gaṇeśa yang terbuat dari batu. Melalui ketersediaan data yang ada, tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan yang mengemuka, yakni apa ragam motif kain yang dikenakan arca Gaṇeśa? Kemudian setelah pertanyaan tersebut terjawab, akan timbul pertanyaan berikutnya, yakni apa makna ragam motif tersebut? Jawaban atas kedua pertanyaan tersebut, tentunya memberikan gambaran serta pengetahuan baru mengenai motif kain yang dikenakan arca Gaṇeśa, baik dari segi bentuk maupun makna yang dikandungnya. Terlebih luas lagi, pengetahuan mengenai motif kain pada arca dapat menambah wawasan baru di dalam khazanah ilmu ikonogra di Indonesia, serta membuka peluang bagi penelitian bertema sama di masa mendatang. Data yang ditampilkan dalam tulisan ini adalah arca Gaṇeśa yang ditemui di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagian data merupakan data primer yang dikumpulkan langsung pada saat penelitian di lapangan, sedangkan sebagian data lainnya merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari dokumentasi pihak Atina Winaya 81lain. Seluruh data tersebut diamati secara seksama dan kemudian dideskripsikan secara terperinci, khususnya pada bagian kain. Hasil pendeskripsian menjadi bahan telaah selanjutnya, yaitu melakukan analisis komparatif antara motif kain pada arca Gaṇeśa dengan motif batik Jawa. Motif batik Jawa dijadikan referensi, khususnya dalam upaya penelusuran ilmu arkeologi, analisis komparatif bertujuan untuk memahami suatu benda yang belum diketahui sifat dan karakteristiknya. Analisis tersebut dilakukan dengan cara membandingkan suatu benda yang belum dapat diidentikasi atau dipahami, dengan benda yang sudah diketahui karakteristiknya. Perbandingan dapat dilakukan pula untuk memahami variasi antar ruang dan waktu Smith, 20114. Bahwasanya, perbandingan merupakan sifat dasar di dalam ilmu arkeologi yang menempatkannya pada bagian penting di dalam ilmu-ilmu sosial. Permasalahan dalam ilmu sosial umumnya mengenai perilaku manusia yang dibentuk oleh faktor-faktor yang bekerja lintas budaya, sebagai lawan dari faktor-faktor unik yang terdapat pada budaya tertentu Trigger, 20033. Perbandingan antara motif kain pada arca Gaṇeśa dengan motif batik Jawa ditujukan untuk melihat adanya kemiripan ataupun perbedaan penggambaran motif, serta untuk mengetahui makna yang terdapat di balik motif tersebut berdasarkan makna yang diketahui di dalam motif batik Jawa. Dengan demikian, pertanyaan yang dikemukakan dapat terjawab, yakni mengenai ragam motif pada kain yang dikenakan arca Gaṇeśa beserta makna di balik pemilihan motif tersebut. Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di JawaDari keseluruhan arca Gaṇeśa yang dijumpai, jumlah arca yang memperlihat-kan penggambaran motif pada kainnya sangat terbatas. Keberadaannya mungkin dapat dihitung dengan jari. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bisa jadi sebagian besar arca pada masa Jawa kuno mengenakan kain yang dihiasi beraneka ragam motif, namun karena teknik pahatnya yang tipis atau tidak diukir secara dalam, maka motif-motif tersebut kini telah aus. Meskipun demikian, ketersediaan data yang terbatas secara kuantitas tetap merupakan data yang penting di dalam upaya menggali dan mengungkap pengambaran motif kain pada arca, baik pada arca di Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 82masa Jawa kuno secara umum maupun arca Gaṇeśa secara khusus. Beberapa arca Gaṇeśa yang masih mengenakan kain bermotif hias diuraikan sebagai Arca Gaṇeśa Balai Konservasi BorobudurArca Gaṇeśa terletak di halaman Balai Konservasi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Arca yang terbuat dari bahan batu tersebut diberi nomor inventaris serta memiliki ukuran tinggi 74 cm, lebar 57,5 cm, dan tebal 26,5 cm. Penggarapan arca halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias arca terbilang raya, setiap detailnya digambarkan secara natural. Kondisi arca sudah tidak terlalu utuh. Bagian mahkota, belalai, dan sebagian tangannya telah Arca Ganesha Balai Konservasi Boro-budur Sumber Winaya 2019Gaṇeśa digambarkan dalam keadaan sikap duduk utkutikasana, yakni kedua kaki ditekuk dan telapak kakinya saling bertemu seperti posisi kaki bayi yang sedang duduk. Arca tidak memiliki sandaran stela dan sirascakra lingkaran halo penanda makhluk suci. Lapik arca berbentuk oval, serta di Atina Winaya 83atasnya terdapat bantalan duduk dilapisi alas kain. Gaṇeśa memiliki empat tangan, namun seluruhnya telah patah sehingga tidak dapat diketahui sikap mudra telapak tangan atau benda yang dipegangnya. Wajah Gaṇeśa sudah tidak terlihat dengan jelas, karena bagian matanya sudah aus dan belalainya patah. Pada bagian tengah dahinya terdapat mata ketiga trinetra yang merupakan ciri yang dimiliki oleh Siwa. Telinganya lebar sebagaimana telinga gajah. Mulutnya setengah terbuka dan lehernya bergaris tiga sebagai penanda makhluk suci. Meskipun mahkotanya telah patah, namun jamang hiasan dahi yang dikenakannya masih terlihat berbentuk pipih tebal berhias ora. Sebagian rambutnya terurai di kedua Sketsa Arca Ganesha Balai Kons Ilustrasi Probo Santoso 2019Gaṇeśa mengenakan upawita tali kasta berbentuk ular yang diselempang-kan pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Kalung yang dikenakannya berbentuk lembaran melebar berhias untaian dan kelopak bunga. Kedua lengannya mengenakan kelat bahu berbentuk untaian Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 84geometris bersimbar tumpal. Pergelangan tangannya mengenakan gelang untaian mutiara. Perutnya dihiasi tali berbentuk untaian geometris bergesper simbar kelopak mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain tersebut dihiasi motif lingkaran medalion yang menyerupai bentuk kelopak bunga. Pada batik Jawa, motif tersebut dikenali sebagai motif jlamprang. Motif tersebut digambarkan rapat memenuhi seluruh permukaan kain. Celah di antara motif medalion diisi motif kelopak bunga. Kain diikat dengan sabuk polos bergesper bunga, dihiasi oleh dua uncal berhias ora, serta sampur selendang di sisi kiri dan kanan kain. Kedua sampur tersebut diduduki oleh Gaṇeśa sebagai alas bantalan yang menjulur hingga ke depan Arca Gaṇeśa Museum SonobudoyoGambar Arca Ganesha Museum Sonobudoyo Sumber Winaya 2019Atina Winaya 85Arca Gaṇeśa terletak di halaman Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Arca yang terbuat dari bahan batu tersebut memiliki ukuran tinggi 91,3 cm, lebar 67,6 cm, dan tebal 53,4 cm. Penggarapan arca halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias arca raya, setiap detailnya digambarkan secara natural. Gaṇeśa digambarkan dalam keadaan sikap duduk utkutikasana. Arca tidak memiliki sandaran stela, namun memiliki sirascakra berbentuk oval. Lapik arca berbentuk padmasana teratai ganda yang permukaannya dihiasi motif geometris segi Sketsa Arca Ganesha Museum Sonobudoyo Ilustrasi Probo Santoso 2019Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 86Kepalanya mengenakan jatamakuta, yakni mahkota yang terbuat dari pilinan rambutnya, berhias ornamen candra kapala bulan sabit dan tengkorak. Sebagian rambutnya dipilin membentuk sanggul, dan sebagian yang lain dibiarkan terurai di kedua bahu. Wajah Gaṇeśa memiliki raut muka tenang dengan mata setengah terbuka sikap bersemedi. Belalainya patah dan telinganya merupakan telinga gajah yang lebar. Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk ular bermahkota yang diselempangkan pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Mahkotanya dihiasi jamang berbentuk persegi tebal berhias tumpal. Kalung yang dikenakannya berbentuk untaian. Perutnya dihiasi tali berbentuk untaian geometris bergesper kelopak memiliki empat tangan dengan sikap tangan kanan depan memegang ekadanta patahan gadingnya; tangan kanan belakang memegang aksamala tasbih; tangan kiri depan memegang modaka mangkuk manisan; serta tangan kiri belakang memegang parasu kapak. Kedua lengannya mengenakan kelat bahu berbentuk tali polos bersimbar tumpal, serta pergelangan tangannya mengenakan gelang berhias mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain tersebut dihiasi motif ceplok bunga/kelopak bunga. Berbeda dengan motif pada Gaṇeśa Balai Konservasi Borobudur, motif ceplok bunga ini tidak rapat, melainkan renggang berjarak satu sama lain. Motif semacam itu kini dikenali sebagai motif truntum. Kain diikat dengan sabuk polos, dihiasi oleh dua uncal panjang hingga bawah lutut, serta sampur di sisi kiri dan kanan kain. 3. Arca Gaṇeśa Candi BanonArca Gaṇeśa berasal dari Candi Banon yang terletak di Magelang, Jawa Tengah. Para ahli berpendapat bahwa lokasi Candi Banon tidak jauh dari Candi Pawon dan Candi Borobudur, namun saat ini keberadaan candi tersebut sudah tidak ditemukan lagi Kempers, 195936. Arca Siwa, Wisnu, Brahma, Agastya, dan Gaṇeśa yang berasal dari Candi Banon termasuk ke dalam arca-arca bermutu tinggi masterpiece di Jawa Tengah, karena memiliki kualitas seni yang amat baik. Kini, seluruh arca tersebut disimpan di Museum Winaya 87Gambar Arca Ganesha Candi BanonSumber Kempers 1959Arca Gaṇeśa Candi Banon yang terbuat dari batu tersebut memiliki nomor inventaris 186b dan ukuran tinggi 148 cm. Penggarapan arca amat halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias cukup raya, namun tidak menampilkan aksesoris dan ornamen yang berlebihan. Kesan yang ditampilkan bukanlah kemewahan, melainkan keanggunan elegant. Kondisi arca dapat dikatakan baik, apabila dilihat dari keutuhan dan kondisi permukaannya. Gaṇeśa digambarkan dalam keadaan sikap duduk utkutikasana. Arca tidak memiliki sandaran stela, namun memiliki sirascakra berbentuk oval yang sebagian telah patah. Lapik arca berbentuk padmasana teratai ganda yang permukaannya dihiasi motif geometris segi enam. Kepalanya mengenakan jatamakuta yang tidak terlalu tinggi, serta dihiasi ornamen candra kapala dan ora. Wajah Gaṇeśa memiliki raut muka yang tenang. Mata berukuran kecil dan terbuka. Belalainya mengarah ke sebelah kiri itampiri dan telinganya merupakan telinga gajah yang lebar. Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 88Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk ular yang diselempangkan pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Mahkotanya dihiasi jamang berbentuk persegi tebal berhias tumpal. Kalung yang dikenakannya berbentuk lembaran melebar berhias untaian. Gaṇeśa memiliki empat tangan dengan sikap tangan kanan depan memegang ekadanta patahan gadingnya; tangan kanan belakang memegang aksamala tasbih; tangan kiri depan memegang modaka mangkuk manisan; serta tangan kiri belakang diduga memegang parasu telah hilang. Kedua lengannya mengenakan kelat bahu berbentuk lembaran berhias motif geometris dan bersimbar tumpal, serta pergelangan tangannya mengenakan gelang berhias untaian mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain dihiasi oleh garis-garis horizontal yang bersusun dari atas ke bawah. Permukaan kain juga dihiasi oleh motif ceplok bunga/kelopak bunga truntum. Motif ceplok bunga tidak rapat, melainkan renggang berjarak satu sama lain. Sabuk pada kain berbentuk rantai bergesper bunga. Kain tidak memiliki hiasan uncal dan sampur. Gambar Arca Ga-nesha Candi BanonSumber OD-1169b, KITLV 1902Gambar Fokus penampakan kain pada Arca Ganesha Candi Banon Sumber OD-1169b, KITLV 1902, diedit oleh Winaya 20204. Arca Gaṇeśa DiengArca Gaṇeśa Dieng merupakan arca yang baru ditemukan pada bulan Desember 2019 di Desa Dieng Wetan, Wonosobo, Jawa Tengah. Arca tersebut ditemukan pada kedalaman 50 cm oleh seorang petani yang sedang mengolah ladang. Proses pengangkatan arca Gaṇeśa yang berukuran besar itu Atina Winaya 89memerlukan upaya yang keras, dengan melibatkan pegawai Balai Pelestarian Cagar Budaya BPCB Jawa Tengah, anggota TNI dan Polri, serta masyarakat. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor unit Dieng BPCB Jawa Tengah, sebelum dibawa ke Museum Kaliasa Dieng Arca Gaṇeśa Dieng terbuat dari batu dan memiliki ukuran tinggi 130 cm, lebar 86 cm, dan tinggi 120 cm. Penggarapan arca halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias sederhana, dengan menampilkan beberapa aksesoris polos tanpa hiasan. Kondisi arca sudah tidak utuh, yakni bagian kepala dan tangannya telah hilang. Namun tokoh tersebut dikenali sebagai Gaṇeśa apabila dilihat dari potongan belalai yang menempel di depan dada, perut yang buncit, serta keadaan sikap duduk utkutikasana. Sikap duduk tersebut merupakan salah satu ciri khas ikonogra arca Gaṇeśa. Gambar Penemuan arca Ganesha DiengSumber Istimewa/ 2020Gaṇeśa tidak memiliki sandaran stela dan sirascakra. Ia duduk pada lapik arca berbentuk oval polos, tanpa hiasan. Kondisi kepala dan wajahnya tidak dapat diketahui, namun belalainya terlihat mengarah ke sebelah kiri itampiri. Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk ular yang diselempangkan pada Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 90bahu sebelah kiri. Ia mengenakan perhiasan yang sederhana. Kalung yang dikenakannya berbentuk lembaran melebar berhias list dan kelopak bunga di bagian tengahnya. Kelat bahu yang nampak pada lengan kanan, ikat pinggang, serta gelang kaki polos tanpa hiasan. Laksana benda yang dibawanya tidak diketahui karena tangannya sudah perhiasan yang dikenakan sederhana, namun Gaṇeśa terlihat mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki yang dihiasi motif medalion menyerupai kelopak bunga jlamprang. Motif medalion tidak rapat, melainkan renggang berjarak satu sama lain. Kain tidak dihiasi uncal dan sampur. Gambar Arca Ganesha DiengSumber Dwi Royanto/ 2020Atina Winaya 915. Arca Gaṇeśa BaraArca Gaṇeśa ditemukan di Dusun Bara, Blitar, Jawa Timur. Arca tersebut dibawa dari Djimbe, yang berlokasi di tepi Sungai Brantas. Gaṇeśa Bara memiliki karakter unik yang menjadikannya mahakarya berkualitas tinggi. Bagian belakang arca dihiasi oleh ukiran Kala berukuran besar. Tanduk yang besar, mata berbentuk bulat dan melotot, serta gigi taring yang panjang, menjadikan Kala tersebut nampak menyeramkan. Keberadaan Kala yang menempel pada punggung Gaṇeśa diyakini melindungi sang dewa dari berbagai gangguan buruk. Pada bagian belakang lapik arca, terdapat inskripsi yang menunjukkan angka tahun 1161 Śaka atau 1239 Masehi, yang merupakan periode pemerintahan Kerajaan Singhasari di wilayah Jawa bagian timur Kempers, 195973. Arca Gaṇeśa Bara yang terbuat dari batu tersebut memiliki ukuran tinggi 69 cm, lebar 107 cm, dan tebal 110 cm. Penggarapan arca halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias raya dan menampilkan kesan yang mewah. Gaṇeśa digambarkan dalam keadaan sikap duduk utkutikasana. Lapik arca berbentuk oval dan dihiasi ornamen medalion pada seluruh permukaannya. Sisi depan lapik dihiasi deretan tengkorak, sedangkan sisi belakangnya dihiasi inskripsi. Kepalanya mengenakan jatamakuta yang tidak terlalu tinggi, tanpa ornamen candra kapala. Pada bagian belakang kepalanya, terdapat sirascakra berbentuk oval. Wajah Gaṇeśa digambarkan memiliki raut muka yang tenang. Mata digambarkan secara detail, yakni berukuran besar dalam keadaan setengah terbuka, sudut luar mata sedikit naik ke atas, kelopak mata terlihat jelas, serta bola mata mengarah ke bawah. Alis nampak tebal dan menonjol. Belalainya bergaris-garis horizontal dan mengarah ke sebelah kiri itampiri. Kedua gadingnya digambarkan patah, serta telinganya merupakan telinga gajah yang lebar. Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk untaian tengkorak berukuran kecil yang diselempangkannya pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Mahkotanya dihiasi jamang berbentuk persegi tebal dan tinggi, berhias untaian ora dan guirlande kecil, serta ornamen kelopak bunga besar. Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 92Gambar Arca Ganesha Bara, tampak depan dan belakangSumber Kempers 1959Gaṇeśa memiliki empat tangan dengan sikap tangan kanan depan memegang ekadanta patahan gadingnya; tangan kanan belakang memegang aksamala tasbih; tangan kiri depan memegang modaka mangkuk manisan; serta tangan kiri belakang diduga memegang parasu. Kedua lengannya mengenakan kelat bahu berbentuk lembaran berhias untaian yang dihiasi kelopak bunga berukuran besar. Pergelangan tangannya mengenakan dua susun gelang yang terdiri atas gelang untaian kelopak bunga dan gelang bulat bergesper bunga. Pinggangnya dihiasi tali polos bergesper kelopak bunga. Perutnya yang buncit memperlihatkan pusar berukuran besar yang tersembul. Pergelangan kakinya mengenakan gelang kaki berbentuk ukiran mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain dihiasi oleh motif yang kini dikenali sebagai motif kawung. Motif kawung tersebut saling rapat memenuhi permukaan kain. Sela-sela motif kawung diisi oleh motif kelopak bunga, sehingga tidak nampak ruang kosong pada permukaan kain. Penggambaran motif nampak sangat jelas pada bagian belakang arca. Bagian belakang arca juga memperlihatkan dua susun sabuk yang mengikat Atina Winaya 93kain, terdiri atas sabuk berbentuk rantai dan sabuk berbentuk guirlande. Kain dihiasi oleh dua uncal yang menjulur di bagian depan kaki. Uncal tersebut berupa kain lebar berhias motif wajik bersusun yang diisi oleh ornamen kelopak bunga. Sepanjang sisi uncal dihiasi ornamen untaian kelopak bunga kecil, serta ujung uncal dihiasi ornamen ora menjulur. Pada bagian tengah di belakang kain, terdapat sampur bermotif sama dengan kain yang dikenakannya. Sampur tersebut menjulur ke arah depan arca diduduki oleh Gaṇeśa.Gambar Fokus penampakan kain pada Arca Ganesha Bara, Sumber Kempers 1959, diedit oleh Winaya 20206. Arca Gaṇeśa Singhasari Pada tahun 1803, kompleks percandian Singhasari yang terletak di Malang, Jawa Timur, ditemukan kembali oleh Nicolaus Englehard, seorang gubernur kolonial wilayah Pantai Timur Laut Jawa. Setelah membuat laporan mengenai penemuan tersebut, ia memindahkan lima arca bermutu tinggi ke Belanda pada tahun 1827, dengan alasan ingin menyelamatkannya dari kerusakan. Kelima arca yang merepresentasikan puncak gaya seni Singhasari abad ke-13 tersebut adalah Mahakala, Nandiswara, Durga, Gaṇeśa, dan Bhairawa, Kinney, Klokke, dan Kieven 2003. Dulu, Gaṇeśa berada di relung sisi timur Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 94Candi Singhasari, namun kini arca tersebut berada di Museum Rijksmuseum voor Volkenkunde Leiden, Belanda. Gambar Arca Ganesha Singhasari Sumber Kempers 1959Arca Gaṇeśa Singhasari terbuat dari batu dan memiliki ukuran tinggi 154 cm. Penggarapan arca halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias raya dan menampilkan kesan yang mewah. Gaṇeśa digambarkan dalam keadaan sikap duduk maharajalilasana, yakni kaki kanan ditekuk dengan lutut mengarah ke atas dan kaki kiri ditekuk dengan lutut mengarah ke samping. Ia bersandar pada stela berbentuk oval yang dihiasi ornamen cakram bersinar di sisi kiri dan kanan. Ornamen tersebut merupakan cikal bakal bentuk “surya Majapahit” Kempers, 195979. Pada bagian belakang kepala, Atina Winaya 95terdapat sirascakra berbentuk oval. Sisi kiri dan kanan sirascakra dihiasi pita-pita yang berkibar ke arah atas. Gaṇeśa duduk pada lapik arca berbentuk oval yang dihiasi oleh deretan tengkorak melingkari sisinya. Kepalanya mengenakan jatamakuta yang tinggi dihiasi ornamen candra kapala, untaian mutiara dan tumpal. Sebagian rambutnya disanggul tinggi dan sebagian yang lain terurai di kedua bahu. Tengkorak merupakan tur yang amat menonjol, menghiasi perhiasan dan pakaian yang dikenakannya. Matanya berukuran kecil, berbentuk bulat, dan terbuka lebar. Belalainya yang bergaris-garis horizontal mengarah ke sebelah kiri itampiri. Telinganya merupakan telinga gajah yang lebar. Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk ular yang diselempangkannya pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Mahkotanya dihiasi jamang berbentuk persegi tebal dan tinggi, berhias untaian mutiara, serta ornamen kelopak bunga besar dan tengkorak di bagian tengahnya. Anting yang dikenakannya berbentuk tengkorak besar. Ia juga mengenakan ikat dada berbentuk untaian bunga dan selendang berupa tali melebar polos yang diselempangkan di bahu memiliki empat tangan dengan sikap tangan kanan depan memegang modaka mangkuk manisan yang berasal dari tengkorak; tangan kanan belakang memegang parasu; tangan kiri depan juga memegang modaka; serta tangan kiri belakang memegang aksamala tasbih. Kedua lengannya mengenakan kelat bahu berbentuk lembaran berhias untaian yang dihiasi simbar berbentuk tumpal. Pergelangan tangannya mengenakan gelang berbentuk lembaran berhias untaian. Perutnya yang buncit memperlihatkan pusar berukuran besar yang tersembul. Pergelangan kakinya mengenakan gelang kaki berbentuk tali berhias untaian dan bergesper mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain dihiasi motif garis-garis yang membentuk wajik belah ketupat yang rapat. Wajik-wajik tersebut diisi oleh motif tengkorak dan ora. Kain diikat dengan sabuk, dihiasi uncal panjang berbentuk tali melebar polos yang terbelah di bagian ujungnya, serta sampur di sisi kiri dan kanan Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 96Gambar Fokus penampakan kain pada Arca Ganesha Singhasari Sumber Kinney, Klokke, dan Kieven 2003, diedit oleh Winaya 20207. Arca Gaṇeśa KarangkatesArca Gaṇeśa Karangkates ditemukan di Desa Karangkates, Malang, Jawa Timur. Arca tersebut memiliki keunikan tersendiri, karena menggambarkan Gaṇeśa dalam sikap berdiri serta memiliki ukuran yang besar hampir mencapai 3 meter. Kondisi arca yang terbuat dari batu tersebut dapat dikatakan sangat baik, yakni memperlihatkan keutuhan dan penggarapan detail arca yang masih jelas digambarkan dalam keadaan sikap samabanga, yakni sikap berdiri tegak lurus membentuk satu garis dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia bersandar pada stela berbentuk kurawal yang mengikuti bentuk tubuhnya. Di belakang kepalanya terdapat sirascakra berbentuk oval yang dihiasi cakram bersinar di kedua sisinya. Cakram di sebelah kanan berbentuk lingkaran, sedangkan cakram di sebelah kiri berbentuk bulan sabit. Di bawah cakram tersebut, terdapat pita yang berkibar ke arah atas. Gaṇeśa berdiri di atas lapik berbentuk setengah lingkaran yang dihiasi deretan tengkorak mengelilingi Atina Winaya 97sisinya. Apabila diperhatikan secara seksama, ornamen yang terdapat pada Gaṇeśa Karangkates amat mirip dengan Gaṇeśa Singhasari. Tengkorak merupakan tur yang amat menonjol, menghiasi perhiasan dan pakaian yang dikenakannyaGambar Arca Ganesha Karangkates Sumber Susetyo 2015Kepalanya mengenakan jatamakuta yang tinggi dihiasi ornamen candra kapala, untaian mutiara, dan tumpal. Sebagian rambutnya disanggul tinggi dan sebagian yang lain terurai di kedua bahu. Matanya berukuran kecil, berbentuk bulat, dan terbuka lebar. Belalainya mengarah ke sebelah kiri itampiri. Telinganya merupakan telinga gajah yang lebar. Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk ular yang diselempangkannya pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Mahkotanya Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 98dihiasi jamang berbentuk persegi tebal dan tinggi, berhias untaian mutiara dan tumpal bermotif tengkorak. Anting yang dikenakannya berbentuk tengkorak besar. Ia juga mengenakan ikat dada berbentuk untaian mutiara. Puting dada dan pusar digambarkan jelas. Gaṇeśa memiliki empat tangan dengan sikap tangan kanan depan memegang modaka mangkuk manisan yang berasal dari tengkorak; tangan kanan belakang memegang parasu; tangan kiri depan juga memegang modaka; serta tangan kiri belakang memegang aksamala tasbih. Kedua lengannya mengenakan dua susun kelat bahu. Kelat bahu atas berbentuk untaian mutiara bersimbar tumpal yang dihiasi motif tengkorak, sedangkan kelat bahu bawah berbentuk untaian mutiara. Pergelangan tangannya mengenakan gelang berbentuk untaian mutiara. Ikat pinggangnya pun berbentuk untaian mutiara. Pergelangan kakinya mengenakan gelang kaki berbentuk tali berhias untaian dan bergesper Motif tengkorak pada kain arca Ganesha Karangkates Sumber Susetyo 2015, diedit Winaya 2020Atina Winaya 99Gaṇeśa mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain dihiasi motif garis-garis yang membentuk wajik yang rapat. Wajik-wajik tersebut diisi oleh motif tengkorak dan ora. Diduga pengerjaan motif kain hanya diukir secara tipis, sehingga cepat menjadi aus. Kain diikat dengan sabuk berbentuk sulur bergesper tengkorak. Pada bagian tengah kain, terdapat wiru berjumlah satu lipit. Kain dihiasi dua uncal sepanjang lutut berhias ora menjulur, serta sampur berlipit sepanjang pergelangan kaki di kedua sisi kain. Ragam dan Makna Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di JawaPada bagian sebelumnya, telah diuraikan deskripsi tujuh arca Gaṇeśa yang mengenakan kain bermotif. Adapun ketujuh arca Gaṇeśa tersebut adalah Gaṇeśa Balai Konsevasi Borobudur, Gaṇeśa Museum Sonobudoyo, Gaṇeśa Candi Banon, Gaṇeśa Dieng, Gaṇeśa Bara, Gaṇeśa Singhasari, dan Gaṇeśa Karangkates. Apabila diamati aspek ruangnya, empat Gaṇeśa yang pertama disebutkan, ditemukan di wilayah Jawa bagian tengah, sedangkan tiga Gaṇeśa yang terakhir, ditemukan di wilayah Jawa bagian timur. Meskipun seluruh arca tersebut sudah tidak berada pada konteks aslinya sudah dipindahkan ke tempat lain, namun pengamatan terhadap gaya seni dapat mendukung klasikasi arca ke dalam kelompok gaya seni tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan, arca-arca Gaṇeśa tersebut mengindikasikan ciri gaya seni sesuai daerah penemuannya. Arca Gaṇeśa Bara, Gaṇeśa Singhasari, dan Gaṇeśa Karangkates menampilkan ornamen tengkorak yang kuat. Ornamen tersebut merupakan salah satu ciri arca periode Singhasari abad ke-13 yang kerap ditemukan di wilayah Jawa bagian makna yang terkandung di balik penggambaran motif kain pada arca Gaṇeśa akan ditelusuri melalui analisis komparatif. Analisis tersebut dilakukan dengan cara membandingkan satu budaya materi dengan budaya materi lainnya yang memiliki persamaan/kemiripan konteks tertentu. Perlu diketahui bahwa temuan arkeologis tidak serta merta dapat “berbicara” sendiri mengenai fungsi dan maknanya. Guna mengetahui hal tersebut, arkeolog perlu menemukan cara untuk mengungkapnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan komparasi antara temuan arkeologi dengan benda yang telah Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 100diketahui fungsi dan maknanya. Kedua benda yang dibandingkan tidak selalu berasal dari satuan waktu yang sama. Hal tersebut dikarenakan perbandingan selalu bersifat terbatas Jansen, 2008110. Dalam hal ini, penggambaran motif yang terdapat pada kain Gaṇeśa akan dibandingkan dengan motif batik Jawa. Hal tersebut didasari oleh dua alasan utama, yaitu persamaan/kemiripan bentuk shape dan persamaan wilayah place. Adapun satuan waktu time berbeda, di mana motif kain pada arca Gaṇeśa diperkirakaan dibuat pada abad ke-8 hingga 13 dapat dikatakan sebagai motif “batik” kuno, sedangkan motif batik Jawa diperkirakan berkembang secara mapan pada abad ke-17 yang kemudian dikenali sebagai motif batik Jawa “modern. Studi mengenai motif batik Jawa telah banyak dilakukan, salah satunya terkait bentuk dan makna. Perbandingan di antara keduanya diharapkan mampu menjelaskan makna di balik penggambaran motif yang terdapat pada kain arca memasuki pembahasan utama, perlu dipahami terlebih dahulu denisi batik. Batik adalah seni menggambar di atas kain yang dilakukan melalui teknik penggunaan canting atau cap yang dicelupkan pada bahan perintang warna berbahan malam lilin yang diterapkan pada kain. Batik berasal dari kata amba yang berarti luas atau lebar; dan nitik yang berarti titik. Dengan demikian, batik dapat diartikan sebagai gambar titik-titik pada kain yang luas/lebar Wulandari, 20114. Sejarah batik diduga telah ada sejak periode Mataram Kuno di Jawa abad ke-8, namun secara meluas berkembang pada periode Mataram Islam abad ke-17. Kerajaan Mataram Islam mempopulerkan kembali batik melalui pemakaiannya di lingkungan keraton, baik oleh keluarga raja maupun para abdi dalam. Lambat-laun, keluarga para abdi dalam yang tinggal di luar keraton ikut memproduksi batik sehingga dapat dikenakan pula oleh masyarakat awam Yulianita dan Sukendro, 2019245. Dalam suatu karya batik, motif merupakan perpaduan antara bentuk, garis, dan isen yang membentuk kesatuan yang indah. Motif batik terdiri atas tiga bentuk utama, yaitu motif utama, motif tambahan, dan isen-isen motif. Motif utama adalah suatu ragam hias yang menjadi penentu pada keseluruhan motif batik, umumnya memiliki makna tertentu yang menjadi “jiwa” dari batik tersebut. Motif tambahan adalah ragam hias yang tidak memiliki arti khusus Atina Winaya 101dalam pembentukan motif, umumnya ditujukan untuk pengisian bidang. Adapun isen-isen motif adalah gabungan titik atau garis yang bertujuan untuk pengisian ragam hias atau bidang Susanto, 1980212. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dibuat suatu rincian atas deskripsi motif kain yang dikenakan Gaṇeśa. Rincian tersebut dapat dilihat pada Tabel Tabel Motif kain pada arca Gaṇeśa di ArcaLokasiPenemuanMotifUtamaMotif TambahanIsen-Isen BalaiKonservasi Boro-budurJawa Tengah Medalion kelopak bunga/jlamprangKelopakbunga- Motif Museum SonobudoyoJawa Tengah Ceplok bunga/kelopak bunga/truntum- - Motif reng-gang3. Gaṇeśa Candi BanonJawa Tengah Ceplok bunga/kelopak bunga/ truntum- Garis horizontalMotif reng-gang4. Gaṇeśa Dieng Jawa Tengah Medalion kelopak bunga/jlamprang- - Motif reng-gang5. Gaṇeśa Bara Jawa Timur KawungKelopakbunga- Motif rapat6. Gaṇeśa Singhasari Jawa Timur Tengkorak FloraGarismembentuk wajikMotif rapat7. Gaṇeśa Karang-kates Jawa Timur Tengkorak FloraGarismembentuk wajikMotif rapatTabel memperlihatkan data bahwa setidaknya terdapat empat motif utama pada kain yang dikenakan Gaṇeśa, yaitu motif medalion kelopak bunga jlamprang, ceplok bunga truntum, kawung, dan tengkorak. Tidak semua kain dihiasi dengan motif tambahan. Bagi yang memiliki motif tambahan, umumnya berupa kelopak bunga atau motif ora lainnya sulur-suluran. Beberapa kain diberi isen-isen motif berupa garis, baik horizontal maupun diagonal yang membentuk wajik belah ketupat. Penggambaran motif kain ada yang Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 102digambarkan secara rapat dan renggang. Motif yang rapat seluruhnya diselingi motif tambahan berupa kelopak bunga atau ora lainnya. Tujuannya untuk memenuhi seluruh permukaan kain, sehingga tidak ada kekosongan. Adapun motif yang digambarkan secara renggang, hanya menampilkan motif utama tersebut tanpa adanya motif tambahan. Rincian pada tabel memperlihatkan adanya pola yang tercipta. Keempat arca Gaṇeśa yang berasal dari Jawa Tengah mengenakan motif yang berkenaan dengan penggambaran kelopak bunga, baik dalam bentuk ceplok bunga truntum maupun medalion jlamprang. Tiga di antaranya mengenakan motif kain yang digambarkan renggang, sedangkan satu arca lainnya mengenakan motif kain yang digambarkan rapat. Lalu, arca Gaṇeśa yang berasal dari Jawa Timur tidak lagi menjadikan motif kelopak bunga sebagai motif utama, melainkan memilih motif lainnya seperti kawung atau tengkorak. Seluruh arca Gaṇeśa Jawa Timur mengenakan motif kain yang digambarkan rapat. Penggambaran motif pada kain, baik secara renggang maupun rapat, nampaknya bisa dihubungkan dengan penggambaran relief candi di masa Jawa kuno. Seni relief masa Jawa kuno secara garis besar dibagi ke dalam dua kategori, yaitu gaya Klasik Tua yang berkembang pada abad ke-8 hingga 10 di wilayah Jawa bagian tengah dan gaya Klasik Muda yang berkembang pada abad ke-11 hingga 15 di wilayah Jawa bagian timur Munandar 200455. Salah satu ciri penggambaran relief gaya Klasik Muda adalah adanya unsur horror vacui, yakni kesan “takut” terhadap ruang kosong. Misalnya, relief candi bergaya Klasik Muda umumnya memiliki panil bidang relief yang dipenuhi oleh ragam hias ora dan fauna Santiko, 201225. Hal tersebut dipandang selaras dengan penggambaran motif yang diterapkan di atas kain. Motif kain pada arca-arca Gaṇeśa yang ditemukan di Jawa Timur selalu digambarkan rapat, penuh, dan terkesan “berupaya” memenuhi ruang kosong pada seluruh permukaan kain sebagaimana penggambaran relief candi Klasik Muda. Sebaliknya, motif kain pada arca-arca Gaṇeśa yang ditemukan di Jawa Tengah, secara umum nampak lebih “ringan” dan sederhana, namun tetap menampilkan kesan anggun sebagaimana penggambaran relief Candi Klasik Tua. Adanya motif kelopak bunga yang digambarkan rapat, untuk sementara dianggap sebagai motif lanjutan dari motif kelopak bunga yang renggang motif peralihan. Berikutnya, ragam motif utama yang terdapat pada Atina Winaya 103kain Gaṇeśa akan ditelusuri maknanya berdasarkan makna yang telah diketahui atas motif-motif pada batik Jawa. Makna tersebut diuraikan sebagai berikut1. Medalion kelopak bunga/jlamprang Motif jlamprang pada dasarnya merupakan bentuk geometris berupa lingkaran. Motif tersebut dipengaruhi oleh motif kain patola yang berasal dari Gujarat, India. Jlamprang diartikan sebagai seseorang atau prajurit yang akan maju ke medan perang, berbaris memegang senjata dan perisai Meliono, 2014126. Pendapat lain mengatakan bahwa jlamprang merupakan bentuk kosmologi dalam agama Hindu dan Buddha yang didasari ragam hias “ceplokan” dan bunga padma Asa, 2006.Gambar Motif jlamprang pada batik Jawa Sumber Ceplok bunga/kelopak bunga/truntum Motif truntum termasuk ke dalam kelompok motif ceplok yang menggambarkan bunga tampak depan pada bidang berbentuk segi empat. Truntum berasal dari kata tuntum yang berarti tumbuh lagi. Motif tersebut merupakan lambang cinta yang bersemi kembali. Motif truntum melambangkan tuntunan yang mengantar kedua pengantin memasuki kehidupan pernikahan yang berliku. Kehidupan rumah tangga akan langgeng dengan kasih sayang yang senantiasa bersemi atau tumbuh. Motif truntum umumnya dikenakan oleh orang tua mempelai pada waktu upacara pernikahan Parmono, 199534.Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 104Gambar Motif truntum pada batik Jawa Sumber KawungMotif kawung diilhami oleh Pohon Kawung, yaitu sejenis Pohon Aren yang buahnya berbentuk bulat lonjong berwarna putih kolang-kaling. Motif tersebut membentuk lingkaran-lingkaran yang saling berinteraksi. Variasi motifnya amat beragam. Motif kawung memiliki makna simbolis layaknya Pohon Aren yang bagian-bagiannya sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, mulai dari batang, daun, ijuk, nira, hingga buahnya. Lebih dalam, seseorang yang mengenakan motif kawung menjadi manusia yang bermanfaat di dalam kehidupan. Pada masa Mataram Islam, kawung merupakan motif larangan yang dianggap sakral, yakni hanya boleh dikenakan oleh raja beserta keluarganya. Filoso tersebut merupakan konsep yang diwariskan dari kebudayaan Hindu Jawa Parmono, 199533-34.Gambar Motif truntum pada batik Jawa Sumber Winaya 1054. Tengkorak Motif tengkorak tidak ditemukan di dalam khazanah motif batik Jawa. Setelah membandingkan aspek bentuk yang terdapat pada motif kain yang dikenakan arca Gaṇeśa dengan motif batik Jawa, dapat diketahui bahwa terdapat kemiripan bentuk di antara keduanya. Dugaan bahwa terdapat kesinambungan antara motif kain yang dikenakan oleh arca pada masa Jawa kuno dengan motif batik Jawa “modern” semakin kukuh. Artinya, motif-motif kain yang dikenakan oleh arca Jawa Kuno merupakan cikal bakal motif batik Jawa yang berkembang pada masa aspek bentuk, perbandingan berikutnya dilakukan terhadap konsep yang menaungi tokoh Gaṇeśa dengan makna losos motif batik Jawa. Motif jlamprang memiliki makna representasi kosmologi di dalam agama Hindu yang tentu saja memiliki keterkaitan dengan Gaṇeśa sebagai salah satu tokoh mitologi Hindu. Motif jlamprang dimaknai pula sebagai seorang prajurit yang akan berperang. Prajurit memiliki konotasi dengan seorang “penjaga” yang identik dengan peran Gaṇeśa. Kemudian, motif truntum yang memiliki loso kasih sayang yang tumbuh dan bersemi dapat dikaitkan dengan sifat Gaṇeśa yang mengasihi manusia dengan cara melindunginya dari malapetaka. Adapun motif kawung diyakini sebagai motif yang bersifat sakral. Hal itu tentunya tidak mengherankan apabila motif kawung dikenakan oleh Gaṇeśa, dewa yang dianggap suci. Sebagaimana makna motif kawung, Gaṇeśa merupakan gur dewa yang populer dipuja karena dianggap mampu memberikan manfaat di dalam kehidupan manusia, yakni sebagai dewa pelindung yang mampu menolak marabahaya, serta dewa kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Pujanya diyakini mampu memberikan keselamatan, sehingga dilakukan pada setiap awal tindakan dan pekerjaan, seperti ketika hendak berpergian, membangun rumah, bahkan menulis buku Ions, 1967100. Meskipun demikian, makna motif yang dikenakan oleh arca Gaṇeśa ataupun arca Jawa Kuno lainnya bisa saja memiliki perbedaan dengan makna motif batik Jawa yang “dimantapkan” pada masa Mataram Islam. Hal tersebut dikarenakan terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya yang dipengaruhi oleh perubahan agama yang dianut. Satu-satunya motif utama kain pada arca Gaṇeśa yang tidak dijumpai pada motif batik Jawa kuno adalah motif tengkorak. Penggambaran motif Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 106tengkorak pada kain arca Gaṇeśa, nampaknya dilandasi oleh berkembangnya aliran Tantrayana pada masa Singhasari yang berlangsung pada abad ke-13 di Jawa bagian timur. Umumnya, arca-arca Tantrayana digambarkan dalam wujud menyeramkan karena dihubungkan dengan berbagai ritual dalam aliran Tantrayana. Salah satu ritual yang dilakukan guna mencapai moksa pelepasan adalah melalui upacara Bairawa yang dilakukan di ksetra halaman kuburan. Ksetra tersebut merupakan tempat penguburan bagi jenazah yang dijadikan persembahan upacara Suleiman, 198526. Merujuk pada proses ritual yang dilakukan, ornamen tengkorak merupakan simbol yang merepresentasikan aliran Tantrayana. Ornamen tersebut sering kali ditemui pada arca-arca Tantrayana, baik pada ornamen utama maupun pendukung arca, salah satunya diterapkan pada motif kain. Pada perkembangannya, motif tengkorak tidak berlanjut hingga masa berikutnya, yakni masa Mataram Islam. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan agama besar yang dianut, sehingga konsep budaya lama yang dinilai tidak relevan kemudian ditinggalkan. Sebelum mengakhiri pembahasan, perlu disajikan sekilas kisah di dalam purāna yang menyebutkan secara sepintas pakaian yang dikenakan Gaṇeśa. Dalam aliran Tantrayana, terdapat ritual meditasi yang ditujukan untuk Gaṇeśa melalui pemusatan konsentrasi sebagai berikut.“Memuja Gaṇeśa dalam warna merah terang vermillion, gur yang memiliki tiga mata, perut besar, menggenggam sankha kerang, pāsa jerat, ekadanta gading, dan simbol berkat. Belalainya berhias modaka mangkuk anggur yang dipegangnya. Pada dahinya terdapat sinar bulan sabit. Ia memiliki kepala raja gajah. Pipinya senantiasa dilumuri anggur. Tubuhnya dihiasi oleh gelungan-gelungan kerajaan. Ia mengenakan pakaian berwarna merah dan tubuhnya berlumur wewangian Renou, 1961152”.Menarik untuk dicermati bahwa Gaṇeśa diidentikkan dengan warna merah cerah atau merah delima vermillion. Bait purāna tersebut menyatakan merah cerah sebagai warna gur Gaṇeśa sekaligus warna pakaian yang dikenakannya. Meskipun konsep tersebut tertuang secara khusus di dalam kitab Tantrayana, tetapi pengetahuan tersebut memberikan wawasan mengenai warna pakaian Atina Winaya 107kain yang dikenakan Gaṇeśa. Kehadiran Gaṇeśa beraliran Tantrayana di Jawa mungkin saja didasari oleh penggambaran tersebut. Berbagai konsep yang diyakini melekat pada gur Gaṇeśa, termasuk bentuk ataupun warna pakaian yang dikenakannya, menjadi penting bagi pemujanya guna memusatkan konsentrasi pada saat melakukan meditasi sebagai bentuk ritual pemujaan. PenutupGaṇeśa merupakan dewa yang amat populer di kalangan umat Hindu. Pemeluknya meyakini Gaṇeśa sebagai sosok yang mampu memberikan keselamatan dan perlindungan dari berbagai malapetaka. Tidak hanya itu, ia juga dipercayai sebagai sumber kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Kepopuleran Gaṇeśa tak hanya ditemui di India, melainkan juga di Jawa pada pada abad ke-8 hingga 15. Arca-arca Gaṇeśa kerap ditemui di berbagai wilayah Jawa, khususnya di wilayah Jawa bagian tengah dan arca Gaṇeśa yang terbuat dari batu memperlihatkan penggambaran motif pada kain yang dikenakannya. Hasil pengamatan terhadap ragam motif tersebut menunjukkan adanya pola yang cukup teratur. Gaṇeśa yang ditemukan di wilayah Jawa bagian tengah, pada umumnya mengenakan motif yang terbentuk dari unsur kelopak bunga, yakni motif medalion kelopak bunga yang kini dikenali sebagai motif jlamprang, atau motif ceplok bunga yang kini dkenali sebagai motif truntum. Penggambaran motif pada umumnya renggang, tanpa hiasan yang mengisi sela-sela motif. Kesan yang ditampilkan sederhana, namun indah dan anggun. Terdapat satu arca Gaṇeśa yang mengenakan motif jlamprang yang rapat. Mungkin saja motif jlamprang rapat tersebut merupakan perkembangan lebih lanjut dari motif jlamprang/truntum yang renggang, atau untuk sementara dapat dikatakan sebagai motif peralihan. Adapun Gaṇeśa yang ditemukan di wilayah Jawa bagian timur, pada umumnya tidak lagi mengenakan motif bernuansa kelopak bunga yang sederhana, melainkan mulai menggunakan motif-motif kreasi yang diterapkan secara rapat dan penuh, seakan-akan terdapat keharusan untuk memenuhi bidang ruang yang kosong horror vacui. Motif kreasi tersebut antara lain adalah kawung dan tengkorak. Hal tersebut bisa saja terjadi seiring perubahan gaya seni Klasik Tua Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 108menuju Klasik Muda pada masa Jawa kuno, di mana penerapan unsur seni yang semula ajek berdasarkan kitab keagamaan, pada akhirnya berkembang mengikuti sentuhan kreativitas para motif yang menghiasi kain pada arca Gaṇeśa secara umum memiliki persamaan bentuk dengan motif-motif yang terdapat pada batik Jawa. Analisis komparatif tidak hanya dilakukan untuk membandingkan bentuk, melainkan dilakukan juga untuk membandingkan makna yang terdapat di dalam motif batik Jawa dengan makna tokoh Gaṇeśa. Hasil analisis menunjukkan adanya keselarasan di antara keduanya, yang mungkin saja mengindikasikan bahwa motif yang dikenakan arca Gaṇeśa merujuk pada sifat/konsep yang dimilikinya. Namun, terdapat satu motif yang tidak ditemui pada motif batik Jawa, yaitu motif tengkorak. Kiranya motif tersebut sudah dianggap tidak relevan lagi pada periode sesudahnya, yakni periode Mataram Islam. Perubahan agama besar yang dianut, lambat-laun menyebabkan transformasi gagasan dan perilaku masyarakat, di mana nilai-nilai yang masih ingin dipertahankan dibalut dengan “kemasan” baru, sedangkan nilai-nilai yang dirasa usang dibiarkan hilang tergerus oleh zaman. Atina Winaya 109DAFTAR PUSTAKAAgarwal, Ruchi. 2018. “Ganesa in the Hindu Pantheon”, dalam Hinduism and Tribal Religions, Encyclopedia of Indian Religions P. Jain dkk, eds. Dordrecht Springer Kusnin. 2006. Batik Pekalongan dalam Lintasan Sejarah. Pekalongan Paguyuban Pecinta Batik Gde. 2015. “Arca Ganesa Bertangan Delapan Belas di Pura Pingit Melamba Bunutin, Kintamani, Bangli”, dalam Forum Arkeologi Vol. 28 1 Wendy Doniger. 1980. Hindu Myths A Sourcebook Translated from The Sanskrit. Middlesex Penguin Alice. 1971. Ganesa A Monograph in the Elephant-Faced God. New Delhi Munshiram Veronica. 1967. Indian Mythology. London Paul I. 2008. “Discourse Analysis and Focault’s Archaeology of Knowledge”, dalam International Journal of Caring Sciences Vol. 1 3 Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge Harvard University Ann R., Marijke J. Klokke, dan Lydia Kieven. 2003. Worshiping Siva and Buddha The Temple Art of East Java. Honolulu University of Hawai’i Ratnaesih. 1997. Ikonogra Hindu. Depok Fakultas Sastra Universitas Irmayanti. 2014. “Batik dan Industri Kreatif Sebuah Proses Kreatitas Manusia dalam Kajian Studi Humaniora”, dalam Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol. 4 2 117-130. Morley, Grace. 2005. Indian Sculpture. New Delhi Roli Agus Aris. 2004. “Karya Sastra Jawa Kuno yang Diabadikan pada Relief Candi-Candi Abad ke-13–15 Masehi”, dalam Makara Sosial Humaniora Vol. 8 2 Kartini. 1995. “Simbolisme Batik Tradisional”, dalam Jurnal Filsafat Vol. 23 28-35. 110Rao, Gopinatha. 1968. Elements of Hindu Iconography. New Delhi Motilal Louis. 1961. Great Religions of Modern Man Hinduism. New York Washington Square Press. Santiko, Hariani. 2012. “Candi Panataran Candi Kerajaan Masa Majapahit”, dalam Kalpataru Majalah Arkeologi Vol. 21 1 Edi. 1994. Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Jakarta Michael E. dan Peter Peregrine. “Approaches to Comparative Archaeology”, dalam The Comparative Archaeology of Complex Societies. Cambridge Cambridge University Sewan. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Jakarta Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Departemen Sukawati, dan Amelia. 2015. Peradaban Hindu Buddha di Kabupaten Malang Tahap I. Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Suleiman, Satyawati. 1985. “Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Padang Lawas”, dalam Amerta 2 Bruce G. 2003. Understanding Early Civilizations A Comparative Study. New York Cambridge University Ruth dan Saleem Kidwai eds. 2000. “Shiva Purana The Birth of Ganesha Sanskrit”, dalam Same-Sex Love in India Readings from Literature and History. New York Palgrave Atina, dkk. 2019. Gaya Seni Ikonogra Mataram Kuno dan Persebarannya di Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malaysia Indikasi Aktivitas Kemaritiman Nusantara pada Abad ke-8 – 10 Maseh. Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta Pusat Penelitian Arkeologi Ari. 2011. Batik Nusantara Makna Filosos, Cara Pembuatan, dan Industri Batik. Yogyakarta Chelsea dan Gregorius Genep Sukendro. 2019. “Corak Batik dan Perilaku Komunikasi Analisis Motif Batik Jawa dan Batik Solo”, dalam Koneksi 1 244-249. Sumber DaringBalai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. 9 Januari 2020. Cerita di Balik Penyelamatan Temuan Arca Dieng. Diunduh tanggal 25 April Winaya 111Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1902. Statue of Ganesa lihat no. 1117b, dalam Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie OD 1169b. Diunduh tanggal 23 April Uje. 5 Januari 2020. Temuan Batu Bata di Arca Ganesha Terbesar Dieng Ungkap Fakta Baru. Diunduh tanggal 25 April Aries dan Dwi Royanto. 8 Januari 2020. Penampakan Arca Ganesha yang Ditemukan Petani di Dieng. Diunduh tanggal 25 April referensi gambar motif batik. Diunduh tanggal 27 April Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna ResearchGate has not been able to resolve any citations for this YulianitaGregorius Genep SukendroBatik merupakan ciri khas budaya bangsa Indonesia di mana karya seni ini pada setiap corak dan motifnya terdapat makna, filosofi dari masing-masing daerahnya. Dalam hal ini, budaya dan komunikasi sangat berhubungan. Perilaku komunikasi menjadi hal utama dalam berkomunikasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui perilaku komunikasi yang terdapat pada motif batik Jogja, dan batik Solo dan mengetahui ciri khas motif yang dimiliki batik Jogja dan batik Solo. Teori yang digunakan adalah teori motif dan teori perilaku komunikasi. Sedangkan metode yang dipakai yakni metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Dengan metode pengumpulan data yang akan diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan observasi. Hasil yang diperoleh adalah perilaku komunikasi yang terjadi tidak hanya melalui komunikasi verbal tetapi juga melalui komunikasi non-verbal. Pada komunikasi verbal pola komunikasi mengarah pada pemberian informasi mengenai arti dan makna dari ciri-ciri motif batik Jogja dan batik Solo kepada masyarakat. Sementara pada komunikasi non-verbal pola komunikasinya mengarah pada pesan dan tanda yang disampaikan melalui simbol dan gambar dari motif batik itu E. Smith Peter N. PeregrineArchaeology is inherently comparative. Comparison is necessary to understand the material record, for one cannot identify or understand an object never before seen without comparing it to a known object. Comparison is also necessary to understand variation over time and space, for one cannot identify or investigate variation unless one has examples spanning a range of variation, nor can one examine change without examples spanning a range of time. Comparative analysis is the only way to identify regularities in human behavior, and it is also the only way to identify unique features of human societies. Indeed, to Bruce G. Trigger the comparative nature of archaeological data and analysis places archaeology at the heart of the most important issues in the social sciences The most important issue confronting the social sciences is the extent to which human behavior is shaped by factors that operate cross-culturally as opposed to factors that are unique to particular cultures. Trigger 20033 In this chapter we outline the ways archaeologists have used comparison to understand the material record and to explore variation over time and space. After a brief history of comparative research on ancient societies, we review the variety of approaches used by the authors of this volume using seven dimensions of the comparative method in Melionop>This paper would like to discuss that batik has three types consist of kain batik tulis, kain batik print and batik fabrics and their variety of motifs. The scope of research on batik originated from the area of Bandung, Cirebon, Pekalongan and Yogyakarta-Surakarta Solo . This research analyzed with Peirce’s triadic semiotic approach with a sign that has an icon, index, and symbol. Analysis a sign motif of batik is related to with an icon in the form of of cloth, and the index element in the form of color motifs of batik. Symbol is always related to with the naming of batik , such as Parang Barong, Sida Mukti, Mega Mendung and the Indonesian cultural background. The results of this research indicate that the batik has egalitarian value, functional value, economic value, and symbolic value. These four values are used by industry to improve the community through the creative industries and innovative creativity in the face of the global market. Through the imaging of batik will be formed social harmony for the global community. kediaman dewa dilambangkan dengan motif